Evaluasi Kebijakan Dan Proyeksi Strategi Pembangunan Sektor Telekomunikasi, Teknologi Informasi, dan Penyiaran (Telematika) Pengantar Bagi sementara pihak, sektor Telematika masih dianggap sebagai sektor yang kurang menarik untuk dibicarakan terutama dalam konteks diskursus politik praktis. Tidak demikian halnya bila kita bersedia meluangkan waktu sejenak untuk meneropong posisi strategis sektor telematika ini, khususnya bila dikaitkan dengan kontribusi sektor ini terhadap perencanaan dan implementasi strategi pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan keamanan nasional. Meski kontribusi sektor telematika dalam Pendapatan Nasional belum cukup signifikan, hanya sebesar 5.1% utuk tahun 2000 dan 5.8% untuk tahun 2001 namun aktivitas sektor ini cukup memberi warna tersendiri dalam perekonomian nasional. Ditandai dengan mulai maraknya sekelompok anak muda membangun bisnis baru menggunakan teknologi Internet, maka Indonesia tak ketinggalan dalam booming e-commerce, majalah Warta Ekonomi edisi Maret 2001 mencatat ada sedikitnya 900 perusahaan dotcom di Indonesia. Jika rata – rata setiap perusahaan menyerap 50 tenaga kerja ahli di bidang telematika, maka 45.000 tenaga kerja telah terserap dalam industri dotcom di Indonesia. Sayangnya, menyusul surutnya bisnis e-commerce dan kurangnya dukungan infrastruktur informasi di Indonesia menjadikan banyak perusahaan dotcom Indonesia mengikuti jejak rekannya di Amerika dan Eropa. Pembangunan sektor telekomunikasi diyakini akan menarik sektor – sektor lain berkembang, sebagaimana diyakini oleh organisasi telekomunikasi dunia, ITU, yang secara konsisten menyatakan bahwa penambahan investasi di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya di negara – negara Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara – negara Eropa, Skandinavia, dan lainnya yang telah memberi perhatian besar pada sektor telekomunikasi, sehingga selain jumlah pengguna telepon (teledensity) meningkat, terjadi pula peningkatan pertumbuhan ekonomi. Implikasi sosial dari pemanfaatan teknologi khususnya telekomunikasi dan teknologi informasi belum dapat dirasakan secara langsung oleh kelompok masyarakat miskin atau mereka yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dipahami karena rendahnya daya beli serta bagi kelompok ini, telematika belum merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap hari. Dalam kondisi semacam ini, telematika masih menjadi barang langka, mahal dan tidak berguna bagi golongan miskin dan mereka yang tinggal di pedesaaan atau daerah terpencil. Sebaliknya, bagi golongan terpelajar, atau mereka yang berpunya, pada awal abad milenium belakangan ini muncul kecenderungan kuat adanya ketergantungan terhadap informasi. Penggunaan telekomunikasi dan teknologi informasi khususnya Internet sebagian besar dilakukan oleh kelompok masyarakat golongan menengah ke atas. Kondisi kontradiktif dalam pemanfaatan telematika memunculkan fenomena yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpuruk dan tambah miskin. Ketidak-tanggapan penentu kebijakan publik di bidang telematika terhadap fenomena umum semacam inilah yang kemudian menimbulkan jurang digital (digital divide). Jika kontribusi telematika terhadap perekonomian nasional sudah ada cara mengukurnya, tidak demikian halnya dengan kontribusi telematika tehadap pembangunan dan peningkatan kualitas demokrasi. Bukti empiris menunjukkan bahwa telekomunikasi dan teknologi informasi telah banyak membantu upaya masyarakat bangsa menuju demokrasi. Bentuk sederhana keterlibatan telematika dalam demokrasi antara lain penggunaan Short Message Service (SMS), Electronic Mail (E-mail), oleh mahasiswa aktivis dalam pendudukan gedung DPR/MPR yang berujung pada runtuhnya rejim orde baru. Pengembangan lebih lanjut pemanfaatan telematika dalam mendukung upaya pendidikan politik dan demokrasi hanya dibatasi oleh kemampuan manusia, bukan oleh teknologinya itu sendiri. Fakta yang cukup menarik, belum banyak partai politik yang secara khusus memberi perhatian pada telematika, baik memanfaatkannya sebagai sarana untuk mengelola organisasi sehingga menjadi partai modern berbasis teknologi, maupun menggunakan isu – isu kebijakan dan strategis di seputar telematika yang dapat menarik simpati masyarakat luas. Permasalahan Umum Permasalahan di sektor telematika, sebetulnya tidak beranjak jauh dari tahun ke tahun, masih di sekitar rendahnya infrastruktur jaringan telekomunikasi, rendahnya penetrasi Internet, pasar yang masih dikuasai oleh pelaku dominan, masih tingginya daftar antrian calon pelanggan telepon, masih relatif rendahnya kontribusi sektor telematika terhadap Pendapatan Nasional, makin terbukanya entry barrier bagi produk dan jasa asing untuk masuk ke Indonesia, sementara produk dan jasa Indonesia di bidang telematika yang diekspor ke luar negeri masih rendah dan seringkali tidak mampu bersaing di pasar global, permasalahan pro dan kon menyusul divestasi BUMN telekomunikasi, lambatnya realisasi pendirian Badan Regulasi telekomunikasi yang bersifat mandiri sesuai dengan mandat Undang – Undang Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, permasalahan Struktur, Perilaku dan Kinerja industri telematika Indonesia terutama setelah berlakunya AFTA, dan regim perdagangan bebas, serta belum adanya upaya serius dari pemerintah untuk memberi perhatian sepenuhnya terhadap pemanfaatan Internet dan dampaknya. Kelembagaan IstilahTelematika atau Information and Communication Technology (ICT) digunakan di Indonesia sebagai suatu keputusan politik pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden untuk menandai perlunya mengantisipasi fenomena konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi. Keputusan Presiden dimaksud adalah Keppres Nomor 20/1999 tentang pembentukan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang kemudian diperbarui dengan Keppres Nomor 50/2000 . Yang menarik, menyusul pergantian regim GusDur ke rejim Megawati, sekarang ini keberadaaan TKTI hanya di atas kertas belaka. Padahal, sesuai dengan cita – cita yang dicanangkan, keberadaan TKTI dimaksudkan untuk membangun sinergi dan koordinasi antar lembaga pemerintah dan pelaku dunia usaha di bidang telematika sehingga secara bersama membangun kebijakan maupun merancang program yang dapat menstimulasi pertumbuhan pemanfataan telematika di Indonesia. Meski ada TKTI yang diketuai oleh Megawati, namun demikian dalam penyusunan kabinet gotong royong, keberadaan TKTI tidak memiliki peran sama sekali, bahkan dianggap tidak ada. Demikian pula dalam kebijakan kelembagaan, meski diperkirakan sudah mengetahui bahwa sebagai konsekuensi konvergensi, terjadi perubahan mendasar pada layanan dan struktur industri telematika, namun demikian hal ini tidak disikapi dengan mengintegrasikan instansi pemerintah yang berwenang mengelola kebijakan sektor telematika. Kemunculan Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan tugas sebagai perancang kebijakan sistem informasi nasional termasuk telematika dan penyiaran masih harus dipisahkan dari institusi yang mengelola telekomunikasi. Hingga saat ini lembaga pemerintah yang berwenang mengurusi masalah telekomunikasi masih dipegang oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi di bawah Departemen Perhubungan. Adanya dua institusi pemerintah yang mengurusi permasalahan sejenis, sempat menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku dan dunia usaha bidang telematika. Ke depan, jika Pemerintah konsisten dengan keinginan untuk membangun sektor telematika, perlu dipersiapkan pembentukan sektor baru yang khusus membidangi Telematika. Jika kita simak ke belakang, pembangunan di sektor telekomunikasi ternyata tidak memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Indikator mengenai hal ini dapat dilihat dari keberadaan instansi setingkat Departemen yang membidangi telekomunikasi selalu berganti – ganti dan ditempelkan ke bidang lain. Pernah pada suatu masa telekomunikasi digabung dengan pariwisata, kemudian dipindahkan dan digabung dengan perhubungan, dan sekarang bahkan muncul dua kementrian yang membidangi hal serupa. Pembentukan suatu sektor dalam pembanguan akan berdampak pada penuhnya perhatian para eksekutif karena dan kuatnya daya operasional untuk membangun sektor yang bersangkutan. Selain itu, jika kita simak, selama tiga dasa warsa terakhir ini, kontribusi sektor telekomunikasi terhadap GNP masih relatif rendah (rata – rata 3%) itupun masih digabung dengan kontribusi dari sektor perhubungan. Pembentukan sektor telematika yang terpisah dari sektor lainnya diperkirakan akan mendorong kesadaran para pelaku di sektor ini untuk meningkatkan kontribusinya pada Pendapatan Nasional. Implikasi lain, dari dibentuknya sektor telematika, adalah disediakannya anggaran pembangunan dalam APBN, maupun kementrian yang memiliki ruang lingkup lebih luas dalam pengelolaan sektor telematika. Sementara itu, menyusul pembubaran Departemen Penerangan dan mulai berlakunya otonomi daerah, terjadi perubahan menyolok pada lembaga pemerintah yang mengurusi sektor informasi dan komunikasi di daerah – daerah. Perubahan ini ditandai dengan perbedaan nomenklature, tugas pokok dan fungsi, serta struktur organisasinya. Selain itu, muncul kencenderungan sektor telematika dijadikan objek bagi pengumpulan PAD melalu perda perijinan penyelengaraan usaha informasi dan komunikasi. Menjelang akhir tahun 2002, pemerintah bersama DPR berhasil menyetujui disahkannya Undang – Undang Penyiaran. Tindak lanjut dari disahkannya UU ini adalah perlunya segera dibangun Komisi Penyiaran Independen (KPI). Agar kinerja KPI dapat sepenuhnya mencerminkan amanat UU Penyiaran, sebaiknya masyarakat segera mengajukan rancangan struktur dan tata laksana KPI, mekanisme rekruitmen anggota KPI, mekanisme pengawasan, serta tata cara hubungan antara KPI dan KPI Daerah. Badan Regulasi Telekomunikasi Menyusul diberlakukannya UU 36/1999 tentang Telekomunikasi yang menggantikan UU 3/89, muncul berbagai harapan agar Indonesia segera memiliki Badan Regulasi Telekomunikasi (BRT) yang bersifat mandiri. Pengertian mandiri di sini, dalam pengertian mandiri terhadap operator telekomunikasi yang diatur, dan mandiri dalam pembuatan keputusan. Meski tidak ada suara yang menentang berdirinya BRT, namun demikian tidak berarti tidak ada masalah dalam realisasinya. Permasalahan mendasar dari kemandegan proses pendirian BRT adalah pada lemahnya landasan hukum yang ada. Pasal 5 UU 36/1999 yang disebut – sebut sebagai acuan perlu didirikanya BRT, berdasarkan kajian, ternyata masih sumir. Demikian pula bagian penjelasan pada UU 36/1999 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mencukupi bagi pendirian BRT. Namun demikian, jika langkah yang ditempuh adalah merubah UU 36/1999, dapat diperkirakan akan memerlukan waktu yang cukup lama, sementara perubahan pasar menuju pasar yang kompetitif, di mana diperlukan peran regulator yang mandiri sudah sangat mendesak. Oleh karena itu diperlukan tindakan terobosan yang dapat disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah. Bisnis Ditengah minimnya kelangkaan infrastruktur telekomunikasi serta rendahnya pemahaman masyarakat luas terhadap telematika, di sisi lain ternyata muncul inisiatif-inisiatif baru yang dikembangkan oleh masing-masing pelaku usaha muda dalam rangka membentuk infrastruktur informasi alternatif yang meliputi aspek aplikasi, jasa dan infrastruktur fisik. Dari sisi teknologi terdapat empat area yang dianggap sebagai pendorong yaitu yang berkaitan dengan bandwidth komunikasi, teknologi peralatan elektronika, teknologi manipulasi informasi, dan teknologi sistem pembayaran yang dikembangkan secara on-line. Peluang yang diciptakan oleh penerapan perdagangan elektronis adalah terciptanya pasar-pasar baru, produk dan pelayanan baru, proses-proses bisnis baru yang lebih efisien dan canggih, serta penciptaan perusahaan-perusahaan dengan jangkauan lebih (extended enterprise), sedangkan kendala-kendala umumnya berkisar pada masalah bandwidth dan kapasitas jaringan, keamanan, harga teknologi, aksesabilitas, struktur sosial-ekonomi-demografi, kendala politik dan hukum, censorship, serta edukasi -sosialisasi masyarakat. Perkembangan lingkungan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia telah mulai menerapkan perdagangan elektronis, telah mulai pula meninjau ulang lingkungan regulasinya. Sebuah kerangka regulasi baru di bidang telematika diperlukan untuk memfasilitasi pemanfaatan telematika di banyak sektor perekonomian. Tinjauan ulang regulasi sangat banyak dipengaruhi oleh manfaat-manfaat konvergensi Computer-Communications-Content pada industri-industri yang terkena dampak serta resiko-resiko yang diciptakan oleh perdagangan elektronis, seperti misalnya keabsahan dokumen elektronis dan pengaturan hak kepemilikan intelektual (intellectual property right). Beberapa isu bisnis lain yang mewarnai tahun 2002 adalah: 1. Telkomnet Instant versus ISP 2. Runtuhnya bisnis VoIP 3. Pelaku pasar dominan 4. Divestasi saham ISAT 5. Kepemilikan silang oleh pihak asing terhadap perusahaan telekomunikasi 6. Merger operator DCS. 7. E-Commerce dan E-Business yang tidak berkembang 8. Implementasi E-procurement di beberapa perusahaan nasional 9. Pemerintah sebagai pasar e-government Regulasi Teledensity adalah indikator yang lazim digunakan di lingkungan telekomunikasi untuk menunjukkan jumlah satuan sambungan telepon PSTN terpasang (SST) per seratus jiwa. Pada saat ini teledensity Indonesia baru mencapai 3%, ini artinya, setiap 100 orang hanya tersedia 3 saluran telepon yang terpasang. Angka ini tergolong rendah terutama jika dibandingkan dengan negara maju atau bahkan negara tetangga Asean. Amerika 98%, Jepang 70%, Norwegia 92%, Singapura 67%, Malaysia 12%, Thailand 8%, dan Philippina 6%. Selain teledensity, penyebaran pengguna juga merupakan masalah tersendiri. Dari sekitar 6 juta SST, 40% berada di Wilayah Jabotabek, 20% di Pulau Jawa, dan 30% tersebar di berbagai pulau di luar jawa. Kelebihan penawaran seringkali terjadi di Jakarta atau kota – kota besar di jawa lainnya, sementara daftar tunggu di daerah makin memanjang dan tidak semuanya dapat dilayani oleh PT. Telkom. Implikasi dari kondisi semacam ini bermacam macam, dari mahalnya biaya telekomunikasi interlokal, hingga makin enggannya PT. Telkom membangun jaringan baru di wilayah – wilayah yang secara ekonomi tidak potensial menyusul diberlakukannya kebijakan duopoli. Sebagai akibatnya penyebaran informasi dan penyediaan sarana akses informasi menjadi terhambat.